[Ficlet] Simple Love

Title : Simple Love

Cast : Sehun ( EXO-K ) │ You

Genre : Romance │ Comedy │ Fluff

Length : Vignette (about 2228 word)

Rate : PG-13

©Jung. Sang. Neul. Present©

***

SIMPLE LOVE

Aku percaya hidup itu memiliki dua takdir, yaitu baik dan buruk. Tapi aku tidak pernah mengerti kenapa takdir buruk seakan menerkam kehidupanku.

“BRUK!” Aku terjatuh lagi saat murid-murid menyerbu hendak masuk kelas sehabis upacara bendera di tengah sisa salju musim dingin yang masih menempel. Tak ada yang lebih membosankan dibanding harus hormat sekian lama, sementara ruangan kelas menyapa dengan kehangatan ekstra. Sekolah ini sungguh melanggar hak asasi siswa. Tapi, tidak ada yang lebih menyebalkan lagi selain mendapati lututku berdarah.

Ini sudah kesekian kalinya terjadi, dan entah kapan akan berhenti. Pernah suatu hari aku sedang berjalan menuju kantin dan seseorang menabarakku amat keras dari belakang. Lututku mencium paving sekolah, dan sakitnya luar biasa. Atau sewaktu gadis gemuk di perpustakaan menyenggolku, kemudian aku terjatuh tepat dihadapan pecahan kaca gelas yang belum diberesi penjaga perpustakaan. Itu jauh lebih sakit lagi.

Sederet kejadian yang melibatkan berbagai macam siswa dapat kusebutkan untuk riwayat lutut berdarahku. Aku juga tidak tahu pasti, karena aku adalah orang yang terlibat dengan takdir buruk tiap harinya. Tertidur ketika jam pelajaran guru killer, dan ujung-ujungnya dijadikan cleaning service gratis sekolah, pernah. Terkena bola basket hingga jatuh pingsan, pernah. Atau tersiram air yang digunakan siswa IPA menyiram tumbuhannya, pernah juga.

Aku bahkan lupa berapa banyak peristiwa tidak menyenangkan yang pernah kulalui. Karena aku adalah gadis dengan sejuta takdir buruk.

.

            “Aish, ban sepeda sialan! Kenapa harus kempes, sih?” umpatku. Ya, aku memang selalu begini ketika emosi dan perasaan benci bercampur menjadi satu seakan berusaha membuat ubun-ubunku meledak. Jalan satu-satunya adalah mengumpat. Aku tidak ingat berapa kemalangan yang menimpaku hari ini, karena aku bahkan takut untuk sekedar mengingatnya. Selalu takut takdir buruk menghantamku hingga akhir hidupku.

Nilai merah di ulangan Fisika, terpeleset di kamar mandi, atau terinjak kaki gadis paling gemuk sesekolah, itu makanan sehari-hariku. Aku tidak bermimpi punya banyak teman dan digemari khalayak, karena itu sungguh tidak mungkin. Untuk mendekat saja mereka takut.

Bagaimana kalau aku tertular sial? Bagaimana kalau takdir buruk ikut mendatangiku?, itu yang terukir dalam benak mereka, bahkan sebelum memutuskan dekat denganku. Jadi, lebih baik sekarang aku pulang dengan jalan kaki, karena tidak mungkin ada yang mau menolongku.

.

            Aku menjalani hidupku dengan berusaha menikmati semua nasib naas yang seakan merupakan kutukanku itu. Dan tidak pernah sekalipun bermimpi ada yang peduli pada nasibku. Sampai suatu hari, aku merasa matahari terbit dari ufuk barat dan bulan tidak lagi menampakkan dirinya di malam hari. Ini sangat mustahil.

Ada seorang siswa yang… menyatakan cinta padaku? Membayangkan punya teman saja tidak, apalagi seorang pacar? Tapi, anggap saja ini merupakan bonus atau mungkin hadiah dari Tuhan untuk kesabaranku. Jadi, aku memilih mengangguk dihadapannya.

“Gomawo.” ucapnya kemudian memelukku. Hangat.

Aku lupa ini dimana, dan suara tepuk tangan serta siulan beberapa, oh, banyak orang menyadarkanku. Dia menyatakannya di lapangan sekolah. Ya Tuhan, memimpikannya saja tidak pernah. Kenapa kau begitu adil dengan menurunkan takdir baik padaku hari ini, Tuhan?

.

            Namanya Oh Sehun. Terlalu cupunya aku sehingga bahkan aku tidak tahu seorang kapten basket sepertinya. Mungkin bukan karena aku cupu, tapi aku memilih menjauh karena orang-orang pasti takut berdekatan denganku.

Dia tinggi: 181 sentimeter. Cukup membuatku agak menengadah demi menatap dua bola mata teduhnya. Tampan juga. Gaya bicaranya sangat lucu: dia agak cadel. Sejauh ini aku menyukainya. Aku tidak berpikir mengenai berbagai kriteria ketika aku menerima pernyataannya. Aku terlanjur gembira, dan, ketika menatap mata penuh harapannya, aku bisa dengan spontan mengangguk.

Tidak ada yang perlu kalian pertanyakan mengenai alasan aku menerima Sehun. Karena Sehun adalah manusia sempurna yang tiap detiknya jadi perbincangan gadis seantero sekolah. Yang perlu dipertanyakan adalah, kenapa Sehun bisa jatuh cinta denganku? Gadis penuh takdir buruk yang dunia seakan tak sudi menampungku. Namun seminggu ini aku resmi jadi kekasihnya, lidahku kelu untuk menanyakannya.

.

            Perlu diketahui, Sehun itu sangat suka jalan-jalan. Seperti hari ini, karena libur, dia mengajakku pergi ke mall.

“Ayolah… Aku sudah lama tidak main game di play zone, chagi. Aku rindu sekali suasana mall..” rengeknya padaku pagi itu.

Ya Tuhan, kenapa kau ciptakan seseorang dengan aegyo selucu dia? Aku menghela nafas, kemudian bangkit.

“Aku ganti baju dulu.” Aku tau dia mendesis “yes!” disana.

Dan bahkan… sejam kuhabiskan untuk memilih baju yang pas untuk kencan kali ini. Meski tujuannya tadi hanya bermain di play zone, tetap saja aku ingin tampil cantik. Dan, berikan takdir baikmu untukku hari ini, Tuhan. Aku ingin, Sehun tidak ikut merasakan takdir buruk yang selama ini selalu kualami.

Karena berkat Sehun, suasana sekolah jadi lebih menyenangkan. Dia akan menggandeng tanganku di waktu pagi, dan tidak melewati koridor, melainkan pintu masuk utama. Jadi kakiku tidak lagi menjadi sasaran injakan gadis bertubuh gemuk. Dia akan menarikku ke kantin dan menangkap tubuhku sebelum aku terpeleset, atau dengan cepat menangkap bola basket yang siap mencium kepalaku. Jadi aku tidak mau Sehun ikut merasakan kesialanku sebelum ada dirinya.

Aku kembali mematut diriku dengan dandanan terakhir ini. Dress ungu selutut yang cantik. Dan ketika aku keluar kamar, kulihat dia sudah hampir tertidur.

“Sehun-ah! Ayo, katanya mau pergi?” Dia langsung berjingkat bangun. Mengucek matanya sebentar. Tampak seperti anak-anak, lucu sekali.

“Ayo!” sahutnya kemudian. Dia tersenyum lebar kemudian merangkulku hangat.

.

Kami sudah memasuki area mall, dan kupikir aku perlu berdoa lebih serius lagi, karena tidak mau acara kencan ini berantakan akibat takdir burukku.

“Kita langsung ke play zone?” tanyaku ragu.

“Mmm, kau mau beli apa? Belilah dulu.” Aku tersenyum kecil mendengarnya.

“Ice milk tea.” jawabku, kemudian menariknya menuju kedai milk tea. Terlalu bersemangat sepertinya agak salah. Aku merasa menginjak air, dan… bruk!

Ah, ya Tuhan, berapa kali pantatku mesti bersentuhan dengan lantai? Ini adalah kegagalan kencanku hari ini, yang pertama. Karena ternyata, Sehun yang tadi kutarik ikut jatuh, dan otomatis… lihatlah tatapan hina dari orang-orang.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Sehun. Seolah tidak terjadi apa-apa, ia membantuku berdiri sambil tersenyum, dan bahkan jadi membeli milk tea sesuai permintaanku.

.

Baiklah, terpeleset itu tidak terlalu buruk, karena aku sering mengalaminya. Sejauh ini Sehun pun tidak memarahiku karena ia jadi kena imbasnya.

“Chagi, ayo kita battle game ini! Yang menang, menuruti permintaan yang kalah.” kata Sehun, lebih bernada menantang.

“Siapa takut? Ayo!” Aku mengiyakan dan berjalan ke arahnya. Aku ini lumayan jago main game, setidaknya takdir buruk memudar ketika aku main game.

 

 

 

“Yeay! Aku menang!” seruku ketika melihat skor akhir. Sehun terlihat memanyunkan bibirnya. Namun sedetik kemudian ia tersenyum sambil mengusap kepalaku.

“Iya, kau memang hebat. Mmm, sekarang, mau minta apa?” tanyanya.

“Aku lapar. Kita makan, ya.” pintaku.

“Tidak ada yang lain?” tanyanya lagi.

“Aish, tidak. Aku hanya lapar,” rajukku, kemudian menarik lengannya untuk segera meninggalkan play zone.

.

Dan takdir buruk kedua mendatangiku bagai sambaran petir di langit ketika kami sampai di resto mall—di lantai dua, setingkat dibawah play zone berada. Menu yang kupilih adalah steak. Karena jujur, aku merindukan makanan ini. Tapi, aku tidak tahu bagaimana chef resto ini memasaknya, karena dagingnya terbilang masih sangat keras. Dan butuh perjuangan ekstra untuk memotongnya. Namun aku tidak tahu bagaimana kronologinya, perjuanganku berlabuh pada…

Ctang!

Plak!

Mataku membulat ketika menyadari orang-orang disana berbisik menertawai tingkah konyolku. Dan, daging itu mendarat di… muka Sehun?

“OMO! Kau baik-baik saja?”

.

Aku sudah pesimis dengan yang namanya takdir baik saat melangkahkan kaki keluar resto itu.

“Kita pulang saja ya, Sehun-ah.” ajakku. Sehun terlihat menatap jam tangannya.

“Masih pukul 12. Apa tidak mau beli yang lain dulu?” tanyanya menawari. Aku menggeleng. Aku takut dia akan semakin tertimpa banyak kesialan bersamaku. Kami naik lift menuju lantai dasar, namun…

Aku menghembuskan nafas berat. Ini takdir buruk ketiga yang menimpaku. Bagaimana mungkin dressku terjepit di pintu lift?

“Chagi, kau kenapa?” tanya Sehun, bingung karena aku tidak juga berjalan maju. Aku menunjuk-nunjuk bagian dressku yang terjepit.

“OMO! Bagaimana bisa?” Sehun menghampiriku dengan cemas. Dan demi apapun, kenapa lift ini tidak mau terbuka ketika dia menekan tombolnya?

Kraak!

Pada akhirnya, aku merelakan dress kesayanganku robek.

“Mmm, kau pakai jaketku untuk menutupinya, ya.” ujar Sehun sambil menyodorkan jaketnya. Aku mengambilnya, memakainya, tapi tidak untuk pulang bersamanya.

“Kukembalikan besok saat masuk, Sehun-ah.” ucapku cepat, secepat langkahku untuk menyingkir dari hadapannya. Bagaimana kalau aku pulang bersamanya dan kecelakaan? Lalu mungkin Sehun akan terluka? Atau Sehun akan—

Aku bahkan tidak mampu mengkhayalkannya.

.

Langkahku berat ketika memasuki rumah. Mengambil air dan bahkan tanganku menjatuhkannya hingga gelasnya pecah berkeping-keping. Kuberesi pecahan kacanya dan melenggang pergi.

Aku benci takdir burukku, umpatku dalam hati, melangkah lebar-lebar menuju kamar, dan membiarkan pintunya berdebam saat kubanting. Sekarang semuanya berputar-putar dalam otakku. Seharusnya aku tidak menerima Sehun waktu itu. Seharusnya aku memikirkan apa konsekuensi dari keputusan yang kubuat. Atau sekarang aku mesti memutuskan hubunganku dengannya? Aku tidak peduli dia tertawa ketika jatuh bersamaku. Aku mengabaikan kenyataan bahwa dia tidak pernah merasa keberatan ketika ikut jatuh kedalam kolam berlumpur sekalipun karenaku.

Yang aku pahami, aku membuat jalan yang dia lintasi tidak lagi mulus seperti model iklan papan atas. Aku membuat dia ikut terpandang hina bersamaku. Dan yang paling aneh dan tidak pernah berhenti kuterka adalah, kenapa seorang Sehun yang sempuna mencintaiku? Sekalipun aku bukan gadis berkacamata yang berkulit hitam atau berambut kusam, tapi hampir satu angkatanku—bahkan kakak kelas pun tau kalau aku adalah gadis dengan tempelan kata “sial” di keningku.

Jadi tidak mungkin Sehun tidak mengetahui fakta itu, mengingat dia satu angkatan denganku. Aku menghela nafas, dan semua pemikiranku buyar ketika sebuah teriakan seakan menyerang telingaku. Kuhapus air mataku.

Aku kenal suara itu. “Eomma!”

.

Konyol. Kejadian naas keempat hari ini benar-benar konyol dan membuatku hilang akal untuk sekedar menebak kenapa aku begitu sial, atau kenapa takdir buruk menghantuiku setiap menitnya, atau apakah aku memiliki dosa dan hukum karma membalaskannya.

Eomma jatuh terpeleset dan tangannya tak sempat menahan kepalanya untuk membenturkan diri ke lantai marmer rumah kami. Dan siapa yang patut disalahkan? Tentu saja aku. Aku yang mengambil air, aku yang menumpahkannya, dan aku pula yang lupa mengepelnya. Setidaknya satu hal yang perlu kusyukuri adalah aku tidak lupa membereskan pecahan kacanya. Namun tetap saja, akibat dari ulahku ini, Eomma perlu menjalani operasi karena kepalanya terbentur cukup keras sehingga dokter memvonisnya gegar otak ringan.

.

Langit agaknya kelabu sore ini, ketika aku memutuskan duduk di bangku taman rumah sakit dan menengadah menatapnya. Mengabaikan sebanyak apapun telepon dan sms yang masuk ke handphoneku, karena aku tahu pengirimnya sama. Oh Sehun.

Aku ingin bertanya pada Tuhan, apakah aku punya kesalahan di masa lampau? Atau jika memang reinkarnasi itu ada, apakah aku adalah manusia hina di kehidupan yang lalu sehingga semua harus terbalaskan kini?

Mataku terpejam selagi kurasakan gerimis mengguyur tubuhku. Kalau hujan bisa jadi penggugur dosaku, aku mau kehujanan tiap hari. Biar aku sakit, yang penting takdir buruk tidak lagi memenjarakanku.

“Kau hujan-hujanan?” Sebuah suara yang sangat kukenal menyeruak dalam pendengaranku. Aku membuka mataku, dan kulihat namja itu sudah duduk disebelahku. Tidak. Aku tidak boleh dekat lagi dengannya, aku tidak mau. Tapi ketika hendak pergi dari sana, tangannya menahanku. Hujan agak menderas, tapi sepertinya dia tidak peduli.

“Kau kenapa, sih? Tadi meninggalkanku di mall sendirian, tidak mengangkat teleponku atau membalas pesanku, dan sekarang? Kau hujan-hujanan seperti anak kecil? Kau lupa aku bisa melacak keberadaanmu melalui gps handphonemu? Ayolah, kau kenapa?” tanyanya.

“Jangan dekat-dekat denganku lagi, Sehun-ah. Jangan! Atau kita… kita… putus saja. Iya, kita putus saja!” seruku, berduel dengan suara gemuruh petir di langit.

Sehun menggeleng, “Tidak, sampai kau bisa jelaskan ada apa sebenarnya.”

“Aku itu gadis sial, Sehun-ah! Tuhan mengutukku sehingga takdir buruk silih berganti mendatangiku tanpa ampun. Aku tidak mau kau lebih sial lagi dari waktu di mall tadi, jika bersamaku,”

“Kau tahu kenapa aku selama ini tidak menurutimu untuk jalan-jalan dan baru hari ini mau? Karena aku takut kau akan kena sial jika bersamaku. Lihat sekarang! Aku mencelakakan Eommaku sendiri karena kesialanku. Aku tidak mau kau malu karena aku, Sehun-ah.” Nada bicaraku melemah. Aku bosan mengecam Tuhan akan nasib sialku, karena Dia tidak pernah menjawab pertanyaan ataupun keluh kesahku. Aku bosan menentangnya.

Tanpa kuduga, Sehun memelukku. Dan aku tidak pernah bermimpi akan merasakan seperti berada dalam pertunjukan drama romance seperti ini sebelumnya.

“Aku itu menyusahkan, Sehun-ah. Tidak semestinya kau memintaku untuk menjadi kekasihmu. Apa yang kau lihat dari diriku? Kau lupa imageku? Gadis sial. Kau lupa, hm?” tanyaku. Kurasakan dia menggeleng.

“Kau itu bukan gadis sial, sayang. Tapi hanya kurang berhati-hati. Dan, aku mencintai semua kesialan yang terjadi karena kau ceroboh. Aku punya mata pengintai untuk memantau gerak-gerikmu di sekolah. Dan aku, mencintaimu bukan karena kau yang sempurna. Hm, apa adanya saja. Aku, Oh Sehun akan menjadi 100% ketika ada dirimu. Karena hanya kau yang bisa melengkapiku. Arasseo? Jadi, jangan pernah berkata begitu. Karena aku mau menjadi sial denganmu,”

“Bukankah itu pengalaman baru?” Dia tertawa pelan.

Sementara aku sibuk mendata segala kejadian sial yang kata Sehun akibat kecerobohanku. Kejadian Eomma, jelas karena aku lupa mengepel minuman yang tumpah. CEROBOH. Sering terpeleset, karena aku kurang melihat bawah saat berjalan. CEROBOH. Ban sepeda tiba-tiba kempes, karena aku lupa mengeceknya ketika pagi. CEROBOH juga. Sepertinya benar kata Sehun. Ini bukan salah takdir, tapi salahku sendiri. Kenapa aku membawa-bawa Tuhan?

“Chagi?” Panggilannya menyadarkanku.

“Hm?” Dia melepas pelukannya.

“Jadi, kau sudah mengerti kan?” tanyanya. Aku mengangguk lemah. Dia mengusap rambutku yang… basah?

Ya Tuhan, aku bahkan lupa kalau sekarang hujan. Ah, Sehun bisa membuatku lupa keadaan? Ya Tuhan, aku juga lupa. Aku itu bukan gadis sial. Kalau gadis sial, mana mungkin aku mendapatkan seorang Oh Sehun yang tampan, baik, terkenal, perhatian, dan tulus mencintaiku?

“Sehun-ah, kau basah kuyup. Lebih baik sekarang—”

“Kita jenguk Eommamu ya?” potongnya. Aku tersenyum. Bagaimana dengan Sehun yang ahli membaca pikiranku? Ia menggenggam tanganku, dan memasuki rumah sakit. Dan kini kami tertawa saat terpeleset bersama dengan baju penampung air ini?

Ceroboh dan sial itu BEDA.

 

 

THE END

Halohaaaa…… Akhirnya, jadi juga ff yang dibuat di tengah malam a.k.a pas begadang ini. Hehehehe… Thanks to maknae yang udah ngajakin begadang, jadinya ide ffku menguar juga deh. Gimana? Katanya lucu ya? Kasian nasib ceweknya a.k.a si reader ini. Hehehe#sembunyi dibalik punggung Baekhyun

Okedeh, silakan komen! ^^

Tinggalkan komentar